Failure Mode & Effects Analysis (FMEA) atau dengan nama lain disebut sebagai metode analisis potensi kegagalan dan efeknya, dibuat pada tahun 1940 oleh militer Amerika Serikat sebagai langkah untuk mengidentifikasi segala kemungkinan bahaya dalam proses produksi, kualitas produk, hingga servis yang ditawarkan.
Dilansir dari ASQ, metode ini dinamakan FMEA karena adanya penekanan pada ‘Ragam Kegagalan’ dan ‘Analisis Efek’. Yang dimaksud dengan ragam kegagalan ialah sebuah cara atau hal-hal yang dapat berbuah kegagalan. Kegagalan dapat berasal dari human error, strategi yang kurang tepat, hingga pelayanan lain yang berdampak pada kepuasan pelanggan. Sedangkan Analisis efek adalah sebuah studi yang mempelajari apa saja konsekuensi yang bisa timbul dari kegagalan tersebut.
Metode FMEA dibuat dengan tujuan sebagai bentuk tindakan untuk mengurangi kegagalan melalui identifikasi potensi bahaya tertinggi. Kita dapat membuat skala prioritas dari berbagai potensi bahaya tersebut dengan menggolongkannya pada tiga tahapan. Pertama ialah seberapa serius konsekuensi yang ditimbulkan. Lalu kedua, seberapa sering kegagalan itu terjadi, dan yang terakhir ialah bagaimana cara mendeteksinya.
Dengan tujuan tersebut FMEA digunakan sebagai dasar pengetahuan dan tindakan untuk mengurangi risiko sekaligus digunakan secara terus-menerus dalam proses operasi atau produksi. Idealnya, FMEA mulai digunakan pada tahap pembuatan konsep dan dilanjut sepanjang produksi.
Dalam Keadaan Apa Metode FMEA Menjadi Efektif untuk Digunakan?
- Ketika dalam sebuah proses, produk atau pelayanan sedang didesain atau mengalami pendesainan ulang setelah Quality Function Deployment (QFD).
- Ketika sebuah produk atau layanan di aplikasikan dengan cara yang berbeda.
- Sebelum produk masuk dalam perencanaan pengembangan dan pengendalian.
- Ketika adanya rencana improvement goals terhadap produk dan layanan.
- Pada tahap analisa potensi kegagalan dari produk dan layanan.
- Sepanjang proses produksi produk atau layanan secara berkala.